Sejarah

Pertanyaan

penjelasan tentang rakyat riau angkat senjata

1 Jawaban

  • Jumat, 10 Agustus 2001 Hanya Angkat Senjata yang Belum Dilakukan.  MESKIPUN tuntutan masyarakat Riau terhadap perpanjangan kontrak bagi   hasil dari perpanjangan pengelolaan ladang minyak Blok Coastal Plain   Pekanbaru (CPP) dipenuhi dengan berbagai variasi, hak-hak daerah ini   untuk mendapatkan kekayaan alamnya itu masih mengandung berbagai   pertanyaan. Sejauh mana komitmen dari pengelolaan Blok CPP dapat   diwujudkan, masih memerlukan pembuktian. Belum lagi berkaitan dengan   bagaimana pengelolaan ladang-ladang minyak yang lain, yang malahan   lebih potensial dibandingkan Blok CPP.     Sebaliknya, dipenuhinya tuntutan masyarakat Riau sehingga mereka yang   sebelumnya menolak perpanjangan kontrak satu tahun antara Pertamina   dan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI), dapat menerima kebijakan   tersebut, harus sama-sama dihargai. Sikap menambah butir kontrak bagi   hasil bagi sebuah perjanjian yang sudah ditandatangani dalam bisnis   internasional semacam pengelolaan Blok CPP, demi memikirkan keutuhan bersama terutama hubungan pusat-daerah yang sekaligus menyangkut keamanan regional, tentulah patut dicatat secara khusus.     Seperti diketahui, perpanjangan kontrak bagi hasil untuk mengelola   ladang minyak Blok Costal Plain Pekanbaru (CPP) antara Pertamina dan   PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) ditolak berbagai komponen masyarakat   di Riau. Pasalnya, perpanjangan kontrak ini tidak mencantumkan tentang   kompensasi yang diharapkan dalam masa perpanjangan kontrak setahun   tersebut yakni pendapatan Riau sebesar 30 persen dari keuntungan   bersih atau senilai 27 juta dollar AS. Selain itu tidak dinyatakan tentang penempatan tenaga lokal dalam pengelolaan Blok CPP.     Akibat tidak aspiratif tersebut, Presiden Megawati Soekarnoputri diberi waktu 3 x 24 jam untuk meninjau kembali persetujuannya terhadap   perpanjangan kontrak bagi hasil di Blok CPP itu. Jika tidak dilakukan, aktivitas Blok CPP segera diblokir. Untuk aksi tersebut, Drs Al azhar MA yang juga Ketua Badan Pekerja Kongres Rakyat Riau II dengan tujuan  mencapai Riau merdeka secara damai, ditugaskan untuk membentuk Aksi  Riau untuk Kuasai (Aruk) Blok CPP yang memblokir ladang minyak itu tanggal 9 Agustus 2001.     Aksi yang menyebabkan Riau dalam siaga satu bahkan sampai mendatangkan bantuan keamanan dari Polda Sumbar dan Sumut, urung dilaksanakan.Batas ultimatum 3 x 24 jam itu dijawab dengan kesepakatan hitam di atas putih di antara pihak-pihak yang terkait dengan Blok CPP seperti CPI, Pertamina, dan delegasi Riau. Kompensasi senilai Rp 27 juta dollar AS dituangkan dalam berbagai hal seperti penyiapan pengelolaan Blok CPP oleh Riau, pengembangan masyarakat, dan biaya operasional   Blok CPP.     BLOK CPP merupakan salah satu ladang minyak di Riau yang terletak sekitar 175 kilometer dari Pekanbaru. Produksinya bisa mencapai 70.000 barrel per hari atau tidak sampai 10 persen dari produksi minyak yang dikelola CPI di Riau yang mencapai 750.000 barrel per hari. Artinya, masih banyak ladang minyak lain yang bahkan memiliki hasil lebih  besar.     "Ladang-ladang minyak selain Blok CPP pun akan diupayakan dikelola oleh Riau sebagaimana halnya Blok CPP," kata Ketua Badan Pekerja (BP) Kongres Rakyat Riau (KRR) II, Al azhar. Ini sejalan dengan amanat KRR  II yang dilaksanakan awal tahun 2000 tersebut yang menyebutkan bahwa kekayaan alam Riau untuk menyejahterakan rakyat Riau. KRR II itu sendiri juga menugaskan agar BP KRR II mencapai Riau merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara damai.     Kalau baru Blok CPP yang menghebohkan, hal itu harus dapat dipahami bahwa baru di ladang minyak itu saja yang masa kontrak bagi hasilnya berakhir dalam waktu dekat. Masa akhir kontrak kerja di ladang-ladang minyak lain masih lama, bahkan ada yang masih 20 tahun lagi. Kontrak kerja bagi hasil Blok Rokan misalnya, akan berakhir di atas tahun 2010.      Mulai digarap sejak sebelum Perang Dunia II, untuk memperoleh hasil minyak termasuk pengelolaan ladang minyak Blok Costal Plain Pekanbaru (CPP), sudah dilakukan masyarakat Riau dengan cara demokratis dan santun. Dilaksanakan berkali-kali dengan berbagai pendekatan yang dapat ditelesuri sejak tahun 1950-an, ternyata hanya angkat senjata saja yang belum dilakukan masyarakat Riau untuk memperoleh hasil  minyak sekaligus mengelola ladang minyak di daerahnya sendiri. Ini juga terjadi dalam memperjuangkan hak-hak dari kekayaan alam Riau yang lain termasuk tanah.      Khusus perjuangan mengenai minyak, misalnya, pada tahun 1959, setelah Provinsi Riau terbentuk-terpisah dari Provinsi Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi-suara itu dikumandangkan oleh Badan Penasihat  Gubernur Riau melalui pidato anggota lembaga tersebut, DM Yanur. Ini diungkapkan dalam Konferensi Daerah (Konferda) yang dihadiri Menteri Dalam Negeri waktu itu, Sanusi Hardjadinata. Hal serupa juga dilakukan  pada tahun 1970, ketika Riau dipimpin Arifin Ahmad (almarhum).

Pertanyaan Lainnya